SaLam BloGgeR

Minggu, 23 Januari 2011

Eksistensi serta peran keluarga dalam mencegah kenakalan remaja.

Eksistensi serta peran keluarga dalam mencegah kenakalan remaja.
BAB I. PENDAHULUAN

a.         Latar Belakang
                         Kenakalan remaja merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang semakin merebak pada waktu sekarang ini. Masalah sosial sering dikaitkan dengan masalah perilaku menyimpang dan bahkan pelanggaran hukum atau tindak kejahatan.
                         Pada saat ini semakin berkembang bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja. Kenakalan remaja tidak hanya berbentuk bolos sekolah, mencuri kecil-kecilan, tidak patuh pada orang tua, tetapi mengarah pada tindakan kriminal, seperti perkelahian masal antar pelajar (tawuran) yang menyebabkan kematian, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain. Di Amerika Serikat hampir lebih dari 40 % orang-orang yang melakukan kejahatan serius adalah anak-anak remaja nakal. Ditemukan setiap harinya 2500 anak lahir di luar pernikahan, 700 anak lahir dengan berat badan rendah, 135.000 anak membawa senjata tajam ke sekolah, 7.700 anak umur belasan melakukan kegiatan seksual aktif, 600 anak umur belasan mengidap syphilis atau gonorhoe, dan 6 anak umur belasan memutuskan untuk bunuh diri (Horn, 1991). Di Indonesia tercatat pada Direktorat Bimbingan Masyarakat POLRI, bahwa pada tahun 1994 menangkap 1.261 pelaku perkelahian antar pelajar dan pada tahun 1998 data ini telah meningkat  menjadi 18.946 pelaku yang ditangkap (Justika, 1999).
                        Menurut C. Zastrow (1982), Juvenile Deliquency atau kenakalan remaja adalah label perilaku-perilaku, seperti menjauh/menghindar dari sekolah, dari kebosanan, dari orang tua yang menterlantarkan, dari kesulitan diri, dari rumah yang bermasalah, dari situasi rumah yang membosankan, dari rumah yang tidak bahagia, dari kehidupan yang sulit, dan dari kesulitan yang satu ke kesulitan yang lain.

b.      Rumusan masalah
-          Apa itu kenakalan remaja
-          Penyebab kenakalan remaja
-          Hubungan keluarga terhadap kenakalan remaja
-          Upaya pencegahan kenakalan remaja

c.          Tujuan
        Adapun tujuan dari  karya tulis ini untuk menjelaskan lebih lanjut tentang pentingnya peran dan eksistensi sebuah keluarga dalam membentuk kepribadiaan anak sehingga mencegah kenakalan remaja yang rentan terjadi pada remaja. Selain itu, ini juga bertujuan mengajak pembaca yang adalah merupakan orang tua  agar nantinya bisa lebih memahami anak.
            ****************************************************************
BAB II. PEMBAHASAN

a.     Pengertian Kenakalan remaja
      Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari
bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik
pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency
berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, 1 yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal,
pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain
sebagainya.
      Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara social pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak
kriminal.
      Dengan demikian pengertian kenakalan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan anti-sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti-normatf.[1] Definisi lain mengungkapkan bahwa kenakalan adalah  tingkah laku yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat.[2]
                  Musen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.[3]
      Sama halnya dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman. Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.[4]
                  Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja usia 16 -18 tahun.   
                  Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian untuk mencari faktor- faktor yang berhubungan dengan kenakalan remaja, faktor-faktor tersebut antara lain indentitas, jenis kelamin, usia, kedudukan dalam keluarga, lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat serta kelas sosial ekonomi, semua faktor tersebut memiliki kontribusi terhadap kecenderungan kenakalan remaja.
                  Begitu juga mengkaji tentang permasalahan komunikasi dalam keluarga tidak akan lepas dari pemahaman terhadap permasalahan itu sendiri. Kajian tidak akan bermakna jika segala sesuatu yang mengenai tentang komunikasi tidak dimengerti. Hal ini akan menimbulkan kerancauan.
                 
b.    Hubungan antara eksistensi Keluarga dan Penyebab kenakalan remaja
            Manusia, termasuk anak dan remaja adalah mahluk sosial yang senantiasa melakukan interaksi yang terbuka dengan berbagai faktor yang sulit dideteksi secara jelas, dan memungkinkan lebih bersifat individual. Profesi pekerjaan sosial merupakan profesi yang  bertanggung jawab atas masalah sosial kenakalan remaja, menunjuk ketidakmampuan orang tua sebagai penyebab kenakalan remaja, yang dalam hal ini berarti keluarga. Orang tua seharusnya memiliki kompetensi untuk mengendalikan anak-anak mereka, terutama yang sedang memasuki masa remaja. Sosiolog memandang disorganisasi sosial sebagai penyebab terjadinya kenakalan semaja, sedangkan psikolog mengacu pada pandangan Freud, bahwa kenakalan remaja disebabkan oleh terjadinya inner conflict, kelabilan emosional dan emosi alam bawah sadar lainnya.
            Keluarga sering dianggap sebagai sumber tunggal dari banyak masalah sosial. Teoritisi Fungsionalis beranggapan bahwa ketidakmampuan kelompok tertentu, terutama orang-orang miskin dan para imigran, mengakibatkan anak-anak mereka mencari hubungan-hubungan alternatif seperti gang, kelompok kriminal, dan kelompok sebaya yang menyimpang lainnya. Teoritisi Interaksionist mempelajari pola-pola interaksi  keluarga sebagai petunjuk mengapa beberapa anggota keluarga berubah menyimpang, misalnya : keluarga-keluarga yang dikepalai oleh perempuan dan keluarga yang pasangannya tidak menikah, tetapi menganut norma-norma keluarga konvensional, sering mendapat stigma dan sumber masalah sosial. Bagi Teoritisi Konflik, keluarga adalah sumber masalah sosial ketika nilai-nilai yang diajarkan bertentangan dengan masyarakat yang lebih besar. Para sosiolog mengabaikan perspektif teoritis tentang keluarga tersebut dan cenderung memfokuskan pada apa yang dapat dilakukan oleh institusi-institusi dalam masyarakat, terutama institusi-institusi kesejahteraan sosial, untuk mempertahankan dan memperkuat stabilitas keluarga.
            Keluarga sebagai ikatan sosial pertama yang dialami oleh seseorang. Di dalam keluargalah anak belajar untuk hidup sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungannya (learning to live as a social being) (Brill, 1978). Keluarga merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk mempelajari bagaimana dirinya merupakan suatu pribadi yang terpisah dan harus berinteraksi dengan orang-orang lain di luar dirinya. Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga ini merupakan suatu komponen vital dalam sosialisasi seorang manusia. Anak akan menyerap berbagai macam pengetahuan, norma, nilai, budi pekerti, tatakrama, sopan santun, serta berbagai keterampilan sosial lainnya yang sangat berguna dalam berbagai kehidupan masyarakat. Anak akan belajar bagaimana memikul rasa bersalah, bagaimana menghadapi secara konstruktif berbagai tanggapan anggota keluarganya yang lain, anak akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, kepuasan, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Dengan demikian, keluargalah pelaku pendidikan utama bagi seorang anak menjadi manusia secara penuh, manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dalam lingkungannya yang diliputi suasana harmonis, bukan manusia congkak yang memiliki dorongan agresi, merusak, dan mengganggu lingkungan sosialnya.
Dalam perkembangannya, salah kesulitan atau bahaya yang mungkin dialami kaum remaja adalah membolosdan Perilaku anti sosial, seperti suka mengganggu, berbohong, kejam dan agresif. Sebabnya mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar adalah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak-dan sering tidak ada sama sekali.[5]
Suatu keluarga yang penuh dengan kehangatan, cinta kasih, dan dialog terbuka akan diserap oleh anak dan dijadikan sebagai nilainya sendiri. Hal inilah yang menjadi landasan kuat anak dalam berinteraksi dengan orang lain di masyarakat yang lebih luas. Pada kenyataannya, keluarga dengan kondisi seperti itu tidak selalu terbentuk. Banyak keluarga yang penuh dengan kekerasan, akibat berbagai situasinya tidak sempat mendidik anaknya menjadi manusia yang secara sosial memiliki kematangan, misalnya anak yang hanya diarahkan kepada pembantu rumah tangga dari pagi hingga malam hari, enam hari dalam seminggu, akibat kedua orang tuanya harus bekerja mencari nafkah. Banyak keluarga yang merasa lingkungan sosialnya kurang aman sehingga melarang anak-anaknya bergaul di luar rumah, sedangkan orang tuanya sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga akan menghasilkan manusia yang “kering”, “kerdil” dan “tidak bersahabat”. Inilah yang memungkinkan menjadi pra kondisi bagi kenakalan anak dan remaja. Anak akan menyerap perilaku, kebiasaan, tatakrama, serta norma yang berasal dari televisi tanpa mendapat bimbingan yang cukup berarti dari kedua orang tuanya. Anak akan menyerap tanpa evaluasi, atas perilaku orang lain yang diamatinya.
      Secara umum masalah yang terjadi pada remaja dapat diatasi dengan baik jika orang tuanya termasuk orang tua yang “cukup baik”. Donald winnicott, seorang psikoanalisis dari Inggris memperkenalkan istilah “good enough mothering” ia menggunakan istilah ini untuk mengacu pada kemampuan seorang ibu untuk mengenali dan memberi respon terhadap kebutuhan anaknya, tanpa harus menjadi ibu yang sempurna. Sekarang laki-laki pun telah “diikutsertakan”, sehingga cukup beralasan untuk membicarakan tentang “menjadi orang tua yang cukup baik”
Tugas-tugas yang dilakukan oleh orang tua yang cukup baik, secara garis besar adalah:
1. memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan kesehatan
2. memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari seorang anak.
3. Memberikan sutu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.
4. Membimbing dan mengendalikan perilaku.
5. Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami.
6. Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.
7. Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga.
8. Memberi teladan.

c.      Pengaruh Perubahan keluarga terhadap kenakalan remaja
                  Unit keluarga adalah sekelompok individu-individu yang satu sama lain dihubungkan baik oleh darah, maupun oleh institusi seperti perkawinan. Didalam kelompok tersebut biasanya terdapat pembagian wewenang (otoritas), hak tanggung jawab, serta peran-peran ekonomi dan seks. Definisi keluarga mungkin berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya, yang menimbulkan perbedaan pula dalam standar perilakunya. Unit Nuclear Family terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak mereka, dan Extended Family, terdiri atas orang tua, anak-anak, kakek-nenek, bibi, paman dan lain-lain yang tinggal bersama. Pada extended family, orang tua mempertahankan otoritas atas perkawinan diantara sepupu dilarang. Pada nuclear family unit keluarga tidak tergantung, perkawinan antar sepupu dianggap normal. Nuclear family adalah tipe keluarga yang menonjol dalam masyarakat industri, sedangkan extended family banyak ditemukan pada kultur masyarakat agraris.
                  Menurut W. Kornblum (1989), dewasa ini keluarga mengalami perubahan-perubahan dari extended family menjadi nuclear family, dan single earner menjadi dual earner, dari agraris ke industri dan teknologi. Bahkan definisi keluargapun berubah dari kumpulan orang-orang yang didasarkan pada hubungan darah atau perkawinan menjadi atas dasar companionship (kesepakatan atau komitmen) saja, seperti yang dilakukan oleh para kaum homo seksual di Amerika Serikat. Bila perubahan-perubahan ini tidak menimbulkan akibat negatif pada fungsi utama keluarga, yaitu memelihara dan membesarkan anak, mungkin bukan masalah. Akan tetapi, bila terjadi sebaliknya maka itu adalah sebuah masalah.
                  Semua keluarga secara kontinyu berubah, sebab mereka harus secara konstan menyesuaikan diri dengan siklus perkembangan keluarga, dimana peran-peran dari semua anggota keluarga berubah. Misalnya, sebagian besar keluarga melampaui tahap-tahap pra nikah, membesarkan anak, kesepian, dan pensiun. Selama dalam tahap dan pada masa transisi ke tahap yang lain, keluarga menghadapi tantangan untuk mempertahankan stabilitas atau kontinuitas, sehingga berfungsi secara memadai. Menurut Glasser dan Glasser (1965) ada lima kriteria keluarga berfungsi memadai, yaitu :
1.      Konsistensi peranan internal di antara anggota keluarga.
2.      Konsistensi peran-peran dan norma-norma keluarga, serta penampilan peran aktual.
3.      Penyesuaian peran-peran dan norma-norma keluarga dengan norma-norma masyarakat.
4.      Kemampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis anggota-anggota keluarga.
5.      Kemampuan keluarga dalam merespons perubahan-perubahan.
Kegagalan melaksanakan fungsi-fungsi ini dapat menimbulkan masalah-masalah dalam keluarga. Kegagalan tersebut biasanya tanpa sengaja dan mengakibatkan krisis internal dan eksternal. Krisis eksternal berasal dari luar, misalnya orang tua menganggur karena terkena PHK. Ini dapat mengakibatkan orang tua kehilangan harga diri dan otoritas, dan senua anggota akan takut dan cemas karena tidak adanya jaminan ekonomi. Krisis internal muncul dalam keluarga sebagai akibat, misalnya salah seorang anak mengalami mental disorder, ketidaksetiaan perkawinan dan lain-lain. Perubahan besar dalam satu peran keluarga dapat mempengaruhi krisis internal, misalnya orang tua yang tiba-tiba memutuskan untuk bekerja disamping mengurus anak, atau tiba-tiba berhenti bekerja.
Tekanan-tekanan dan masalah-masalah interpersonal lainnya dapat menimbulkan “empty shell” dalam keluarga, yaitu tidak lagi memiliki perasaan kehangatan dan kemenarikan diantara anggota-anggota keluarga karena tekanan dari luar. Di dalam keluarga tidak ada lagi strong attachment, saling mengabaikan kewajiban, dan berkomunikasi seminimal mungkin. Situasi rumah seperti demikian merupakan tempat yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya masalah kenakalan anak dan remaja. Rumah atau keluarga yang bahagiapun dapat mengakibatkan terjadinya masalah kenakalan remaja, bila keluarga lost event dalam memperhatikan anak remajanya.
      Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga, misalnya dari single earner menjadi dual earner mengakibatkan ibu rumah tangga berkurang waktunya untuk memperhatikan anaknya. Perubahan ini juga memberikan kontribusi pada semakin besarnya peluang terjadinya perceraian. Fenomena empty shell juga dapat disebabkan oleh perubahan akibat tidak langsung terjadinya kenakalan remaja, sebab kebutuhan akan rasa aman remaja tidak terpenuhi.
d. Upaya mencegah Kenakalan remaja
                    Kenakalan anak dan remaja merupakan hal yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam upaya pemecahannya. Tidak mudah untuk mendekati mereka tanpa memahami siapa mereka dan dalam kondisi apa. Jones dan Pritchard (1985) mengemukakan lima model pendekatan untuk memahami remaja,[6] yaitu :
1. Model Konstitusi (Constitutional Model)
        Model ini memahami remaja dari perkembangan biologis dan fisiologis. Perkembangan fisik dan biologis yang terlalu dini atau terlalu lambat dapat menimbulkan masalah bagi remaja, terutama dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Misalnya anak perempuan terlalu cepat mengalami menstruasi dan mengalami pembesaran buah dada, atau sebaliknya terlambat (sudah lewat masa remaja) belum mengalami masa menstruasi dan buah dadanya masih belum muncul. Hal ini dapat menimbulkan kepanikan, rendah diri, yang akhirnya sulit  berkomunikasi dan tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan. Demikian pula dengan perkembangan biologis dan fisiologis anak laki-laki, misalnya mimpi basah, tumbuh bulu dan lain-lain. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting untuk membimbing mempersiapkan berbagai kemungkinan menghadapi perkembangan biologis dan fisiologis. Untuk mencegah hal-hal yang dapat menjurus kepada kenakalan remaja.
2. Model Krisis Identitas (Identity Crises Model)
        Model ini memahami remaja berdasarkan pemahaman remaja terhadap identitas dan konsep dirinya. Memandang remaja mengalami krisis identitas, belum memiliki kejelasan tentang siapa dirinya, apa potensinya dan apa kekurangannya. Berdasarkan model ini, remaja harus dibantu untuk menjawab pertanyaan siapa saya?, sehingga memperoleh kejelasan tentang konsep diri dan identitas dirinya. Bila tidak, remaja akan mengidentifikasi dan melakukan imitasi identitas orang lain, terutama tokoh idolanya sebagai dirinya. Masalah muncul bila tokoh yang menjadi idolanya adalah tokoh mafia, yang sering digambarkan sebagai pembunuh berdarah dingin. Bisa-bisa remaja itu ikut melakukan hal-hal yang tidak baik, seperti berkelahi karena merasa kuat dan hebat seperti tokoh yang diidolakannya. Dalam hal ini peran orang tua dan para profesional yang berkepentingan mempunyai tanggung jawab untuk membantu remaja agar memiliki kejelasan terhadap identitas dan konsep dirinya. Dengan demikian,remaja dapat menemukan identitas mereka tanpa harus mendekati kenakalan remaja
3. Model Kebutuhan (Need Model)
        Mengacu pada teori kebutuhan untuk memahami remaja. Menurut teori kebutuhan Maslow (1970), bila kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman terpenuhi, maka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya tidak akan banyak menemukan kesulitan yang berarti. Kedua kebutuhan tersebut sangat berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan remaja yang lainnya. Remaja sering menampilkan perilaku kasar bila perutnya lapar, kurang tidur an perasaannya tidak aman. Dalam hal ini orang tua sangat berperanan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan fisiologis dan rasa aman remaja.
4. Model Belajar Sosial (Social Learning Model)
Memandang bahwa remaja sangat sensitive atas model-model perilaku di lingkungannya. Bandura (1970) mengemukakan sebuah teori bahwa apabila seseorang terekspos pada satu model perilaku, kemudian exposure tersebut terjadi berulang-ulang (repetition), maka akan terjadi retention (penyimpanan dalam long-term memory). Bila ini terjadi, maka seseorang tersebut akan mengikuti model perilaku tersebut. Exposure ini biasanya dialami remaja dari media massa terutama televisi atau dari lingkungan sebayanya. Bila model perilaku yang menempa remaja tersebut ternyata dianggap cocok, maka remaja akan mengikuti model perilaku tersebut.  Selain itu, pada saat berkumpul dengan lingkungan kelompoknya, biasanya mereka berperilaku sama, yang sebenarnya merupakan hasil belajar sosial. Masalah muncul apabila model perilaku yang mengeksposnya adalah model perilaku negatif atau menyimpang. Orang tua dan para profesional yang berkepentingan juga mempunyai tanggung jawab dalam hal mencegah tereksposnya remaja pada model-model perilaku negatif atau menyimpang, atau mempersiapkan remaja agar memiliki ketahanan dalam menghadapi pengaruh model-model perilaku tersebut.
5. Model Stress (Stress Model)
Memandang bahwa setiap orang pasti mengalami stress pada suatu saat. Kemampuan mengatasi stress (Coping Ability) sangat berperanan. Stress yang tidak teratasi akan mengakibatkan kecemasan, baik kecemasan ringan, seperti berkeringat, sampai kecemasan berat seperti psikosomatis. Daya untuk mengatasi atau mengelola stress pada diri remaja perlu dikembangkan. Banyak kasus-kasus kenakalan remaja disebabkan oleh stress dan rendahnya kemampuan untuk mengatasi. Pelatihan-pelatihan untuk mengatasi stress dapat membantu para remaja mengembangkan coping ability.
*******************************
BAB III. PENUTUP

a.     Kesimpulan
      Masalah kenakalan anak dan remaja tidak memandang tempat maupun status sosial ekonomi, ada pada setiap lapisan masyarakat, di kota maupun di desa, pada lingkungan kaya maupun miskin. Keluarga sebagai penyebab tidak langsung terjadinya kenakalan remaja selain masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga, misalnya dari single earner menjadi dual earner mengakibatkan ibu rumah tangga berkurang waktunya untuk memperhatikan anaknya. Perubahan ini juga memberikan kontribusi pada semakin besarnya peluang terjadinya perceraian. Fenomena empty shell juga dapat disebabkan oleh perubahan akibat tidak langsung terjadinya kenakalan remaja, sebab kebutuhan akan rasa aman remaja tidak terpenuhi.
      Kenakalan remaja dapat difahami melalui lima model pendekatan, yaitu model konstitusional, yang memahami remaja dari perkembangan fisiologis dan biologis; model krisis identitas untuk memahami kesulitan remaja dalam menemukan jati dirinya; model kebutuhan yang memahami remaja dari kondisi pemenuhan kebutuhan dasar manusia; model belajar sosial untuk memahami bagaimana perilaku remaja sebagai hasil belajar dari lingkungannya; dan model stress untuk memahami bagaimana kemampuan remaja dalam mengatasi stress (coping ability).
      Keluarga, bagaimanapun merupakan sumber terjadinya masalah kenakalan remaja, akan tetapi keluarga juga merupakan sumber untuk mencegah dan mengatasi kenakalan remaja. Hal ini sejalan dengan aliran konservatif yang menganggap bahwa keluarga, utamanya yang memiliki orang tua lengkap, merupakan institusi yang sangat penting sebagai tempat anak untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang memadai dengan menerapkan nilai dan moralitas yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Demikian pula Parsons (1964) dan Parsons & Bales (1956) mengatakan bahwa modernisasi akan melunturkan dan mengurangi fungsi keluarga. Fungsi sosialisasi anak dan tention.
Bagi remaja, masa remaja merupakan periode transisi/peralihan sekaligus periode perubahan, misalnya: perubahan kepekaan emosi, bentuk tubuh, peran, minat, dan nilai. Pada masa ini juga merupakan masa mencari jati diri/identitas diri.Terkadang juga merupakan masa yang tidak realistik, karena mereka memandang sesuatu dari “kacamata”-nya sendiri, yang kadang jauh dari realita. Oleh karenanya, keluarga, khususnya oarnng tua memiliki pengaruh dalam membentuk jati diri remaja dan kepribadian agar tidak adanya kecenderungan kearah kenakalan remaja. Dalam artian bahwa masalah yang terjadi pada remaja dapat diatasi dengan baik jika orang tuanya termasuk orang tua yang “cukup baik”.
*********************************
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta,1980
Rumini Sri dan Siti Sundari, Perkembangan Anak dan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004
Simanjutak,B, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Aksara Baru, Jakarta, 1984
http://www.dimandiri.or.id/file/ulfahmariaugm/bab2.pdf/tinjauanpustaka/hlm10
http://www.ipin4u.esmartstudent.com/psiko.htm
http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/uke_h_rasalwati.htm


[1] B. Simanjutak, S.H., Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Aksara Baru, Jakarta, 1984, hlm.25

[2] Sri Rumini dan Siti Sundari, H.S. M.Pd, Perkembangan Anak dan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.53
[3] (http://www.dimandiri.or.id/file/ulfahmariaugm/bab2.pdf/tinjauanpustaka/hlm10)
[4] Ibid, (http://www/dimandiri.or.id?file/ulfahmariaugm/bab2.pdf/tinjauanpustaka/hlm10)
[5] http://www.ipin4u.esmartstudent.com/psiko.htm

[6] http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/uke_h_rasalwati.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tinggalin jejak Komen nya. . . Semoga Info nya Bermanfaat. Dan Tinggalin Jejak Like nya ea. Makasih (^,^)

recent Comments Guys...

About Me

Foto saya
Assalamualaikum.w.w Ada nya blog ini untuk saling share. Let's share each others. Buat nambah info n pengetahuan. Kalo ada Kekurangan Sana Sini di Blog ini, Tolong kritik and sarannya iyyach. Bukan sekedar kritik, tapi ada solusi yang membangun. I’m not perfect one. But, I’ll do Best for everything. I'm simple one. I believe I can, then I do...

Like This Sist,Bro

Thanks for Visitting.